Sabtu, 05 Juni 2010

Masjid Tua dan Bersejarah di Minangkabau : Bagian 3


Hak Cipta : Tim Labor Sejarah FIBA IAIN Padang
Di Edit oleh : Muhammad Ilham


20. Masjid 60 Kurang Aso




Masjid Kurang Aso 60 adalah model masjid tradisional Minangkabau dengan corak Arsitektur Hindu-Jawa Abad ke 15 M, belum ada data pasti tentang tahun pembuatannya. Tapi berdasarkan informasi dari Ibu Nuraini (±76 tahun), suku Jambak-Koto Anyir, masjid ini telah ada sebelum tahun 1733 M, karena rumah gadang beliau (kaum Inyiak Talanai) dibuat pada tahun 1733 M, sedangkan masjid tersebut pada waktu itu telah ada menurut tutur Nenek beliau. Begitu juga kalau kita lihat keberadaan makam Syech Maulana Sofi, seorang ulama besar di Sungai Pagu yang hidup antara tahun 1730 s.d tahun 1818 M, posisi makam beliau terletak di Miqrob Masjid, berarti Masjid ini telah ada sebelum keberadaan beliau. Bangunan masjid konstruksi kayu dengan ukuran panjang 17m, lebar 17m dan tinggi 17m, atap berbentuk limas bersusun tiga, mirip dengan atap bangunan Klenteng Cina, bahan atap pada awalnya terbuat dari ijuk dan telah beberapa kali diganti dengan seng. Tonggak / tiang kayu berjumlah 59 buah, pada bagian tengah terdapat tonggak paling besar ukurannya disebut tonggak Machu (mercu). Masjid Kurang Aso 60 disamping sebagai tempat ibadah juga dipergunakan sebagai tempat upacara adat, seperti upacara makan-makan Turun Ke Sawah-Mambantai Kabau Nan Gadang. Masjid ini adalah perwujudan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah. Bangunan masjid ini sarat dengan makna, pada setiap bagian bangunan tersirat lambang-lambang (falsafah) yang mengandung arti dan masih dapat ditafsirkan sampai saat ini.


21. Masjid Al Imam





22. Masjid Asasi




Masjid ini didirikan oleh masyarakat dari 4 koto yaitu dari daerah Gunuang, Paninjauan, Jaho dan Tambangan. Masjid Asasi pernah dijadikan sebagai basis pengembangan Islam terutama mengembangkan Madrasah Thawalib Gunuang. Tokoh-tokoh seperti Buya HAMKA pernah menggelar pengajian disini. Masjid Asasi memiliki 3 motif ukiran dari aliran yang berbeda yaitu Hindu, China dan Minangkabau.


23. Masjid Badano




Masjid ini terdapar di Sungai Rotan Kecamatan Pariaman Selatan. Pada desa ini terdapat sebuah Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Badano. Alkisah dimasjid ini terdapat sebuah Guci Besar yang juga dinamai dengan guci badano. Guci yang cukup tua ini berasal dari temuan masyarakat pada sebuah anak sungai disekitar masjid, konon khabarnya adalah dari peninggalan cenek moyang. Secara bergotong-royong masyarakat memindahkan guci tersebut ke mesjid Badano ditempatkan dekat dengan kulah air wuduk, diberi kedudukan dengan beton dengan ketinggian dari permukaan tanah + 75 centimeter. Menjadi suatu keajaiban bahwa air yang ada didalam guci sejak dahulunya tidak pernah kering, selalu terisi air bersih hingga leher guci. Menjadi ritual oleh lapisan masyarakat di sekitar Sungai Rotan, dan bahkan dari daerah yang jauh mereka dengan sengaja melaksanakan acara turun mandi anak, dengan memanfaatkan air yang terdapat dalam guci besar badano ini. Sering kali air dalam guci ini diambil sebagai obat, dan bila seseorang sedang menderita sakit dalam yang cukup lama, kaum keluarganya membawa dan memandikan sisakit dengan air guci ini malam hari. Sekarang Guci Besar Badano tetap diminati oleh banyak orang yang datang dari berbagai tempat, yang ingin mendapatkan kasiat dan keistimewaan air dari guci keramat itu.


24. Masjid Balai Gadang Nan Duo


Masjid ini berlokasi di Kelurahan Blai Nan Duo, Kecamatan Payakumbuh. Masjid ini populer dikalangan masyarakat dengan nama masjid Gadang Balai Nan Douo. Hal ini cukup beralasan karena dahulu masjid ini berlokasi ditengah-tengah negeri berdekatan dengan Balai Adat Negari “Balai Nan Duo”. Masjid ini dibangun pertamakali pada tahun 1850 M, pada masaa pemerintahan Sultan Chedoh dari Suku Koto. Panitia pembangunan pada saat itu disebut Tukang Nagari Nan Tigo baleh dan dipimpin oleh 3 orang penghulu, yaitu : Datuk Kuning Suku Kampai dari Parit Ratang, Datuk Pangkai Sinaro, Suku Piliang dari Payolansek dan Datuk Siri Dirajo, Suku Melayu Daru Payolansek. Lahan bangunan masjid ialah menempati taah wakaf dari kaum suku Bodi dan suku Simabur. Bangunan atap bersusun tiga menyerupai pyramid, dan berbahan dasar kayu dan atap adun Kelap.Pemugaran atap juga dilakukan dengan mengubah bentuk atap menjadi Bagonjong dan berjendela. Ukuran masjid menjadi 20 x 20 M, Jumlah tiang sebanyak 48 buah dan terbuat dari bahan kayu Juar, Lantai terbuat dari papan yang mempunyai ketinggian 1,2 M dari tanah. Masjid ini berbentuk panggung dan mempunyai satu pintu keluar masuk jamaah.


25. Masjid Bingkudu

Masjid Bingkudu terletak di Dusun/Kampung Tigasuro, Desa Lima Suku Sawah, Kecamatan Empat Angkat Cadung, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Bangunan masjid terletak pada ketinggian 1.050 m di atas permukaan laut. Pada tahun 1957 dilakukan penggantian atap ijuk dengan atap seng oleh masyarakat setempat. Pada tahun anggaran 1991/1992 dilakukan pemugaran oleh Proyek Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat dengan jenis pekerjaan pembongkaran dan pemasangan kembali atap, plafon rangka atap, jendela, menara dan tangga menara. Kemudian pemugaran satu buah makam dan tempat wudlu, mimbar, mihrab, kolam, pemasangan penangkal petir pada menara, penataan lingkungan, pengecatan, serta pembuatan pintu gerbang. Masjid Bingkudu diperkirakan berdiri pada tahun 1823 diprakarsai oleh Inyik Lareh Candung gelar Inyik Basa (H Salam). Pendirian masjid merupakan hasil kesepakatan dari empat delegasi yang mewakili daerah sekitar Bingkudu, juga merupakan masjid yang tertua dan terbesar di daerah Bingkudu. Bangunan Masjid Bingkudu terletak di atas sebidang tanah yang lebih rendah dari sekitarnya berukuran 60 x 60 m, berdenah bujur sangkar dengan ukuran bangunan 21 x 21 m dan bangunan masjid aslinya berbahan kayu dan atap ijuk. Bangunan berbentuk panggung menggunakan konstruksi atap susun tiga. Tinggi keseluruhan dari permukaan tanah +- 19 m dan mempunyai kolong setinggi +- 1,50 m. Pintu masuk terletak di sebelah timur. Ruang utama Bangunan utama masjid berdenah bujur sangkar berukuran 21 x 21 m terbuat dari kayu (tiang) dan papan (dinding, lantai), beratap susun tiga dari ijuk. Bangunan berbentuk panggung dengan tinggi kolong 1,50 m dan tinggi bangunan sampai puncak 19 m. Di bagian depan terdapat teras yang menghubungkan dengan bangunan menara.




Di dalam teras juga terdapat sebuah bedug berukuran panjang 3,10 m, diameter 60 cm, terbuat dari pohon kelapa. Mihrab masjid terdapat di sebelah barat menjorok keluar dari bangunan utama.
Mimbar masjid tidak terdapat di dalamnya, tetapi terletak di depannya. Mimbar terbuat dari ukiran kayu dengan hiasan warna keemasan dibuat tahun 1906, berbentuk huruf 'L.' Memiliki tangga naik menghadap ke depan dan tangga turun mengarah kesamping. Pada bagian kiri dan kanan tangga tersebut terdapat pipi tangga berukir dengan motif sulur-suluran. Pada mahkota mimbar terukir kaligrafi, dan pada bagian atas juga ditemukan tulisan angka 1316 H (1906 M).Pintu masuk ruang utama terdapat di sebelah timur. Di dalamnya terdapat 53 buah tiang berdiameter antara 30-40 cm dengan bentuk segi duabelas dan enambelas, juga terdapat sebuah tiang sebagai tonggak macu yang terdapat di tengah-tengah berbentuk segi enambelas berdiameter 75 cm. Di dalam masjid terdapat sebuah lampu gantung kuno dan beberapa buah lampu dinding kuno yang terpasang pada tiang-tiang masjid. Hiasan ukiran terdapat pada tiang-tiang bagian atas dan pada balok pengikat antara satu tiang dengan tiang lainnya merupakan kekhasan Masjid Bingkudu. Menara Masjid Bingkudu berdiri pada tahun 1957, terletak di depan bangunan utama yang berbentuk segi delapan dengan atap kubah. Tinggi menara 11 m dan memiliki 21 anak tangga yang memutar ke arah kiri mengelilingi tiang utama yang terdapat di tengah-tengah. Menara tersebut merupakan menara pengganti (baru) yang sebelumnya terdapat terpisah di sebelah utara bangunan utama. Sedangkan menara lama dahulunya memiliki 100 anak tangga, karena tersambar petir, bangunan menara dipotong dan dinamai menara bulat dan difungsikan sebagai rumah garin dan tempat musyawarah tokoh masyarakat sekitarnya. Tempat wudlu terdapat di selatan masjid berbentuk segi panjang dan tertutup. Selain itu, di sebelah selatan dan barat terdapat kolam. Sebuah makam yang terdapat di kompleks masjid adalah makam seorang ulama yang berpengaruh di daerah ini yaitu Syekh Ahmad Taher meninggal pada tanggal 13 Juli 1962.


Sumber Narasi : dari wikimapia.com dan Kamus Minangkabau (2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar